2025-01-13 HaiPress
JAKARTA,KOMPAS.com -Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan menggelar focus group discussion (FGD) untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Wakil Ketua DPR Adies Kadir menyatakan,FGD tersebut bakal diikuti oleh akademisi dan praktisi di bidang pemilu,serta semua pemangku kepentingan terkait pemilu.
"DPR akan mungkin membuat semacam FGD,mengundang akademisi,atau tokoh masyarakat praktisi di bidang itu. KPU,Bawaslu,semua stakeholder yang terkait," kata Adies di Kompleks Parlemen,Jakarta,Senin (13/1/2025).
"(Kami) akan membahas bersama-sama,kira-kira rekayasa konstitusi seperti apa yang akan dibuat di dalam rancangan UU,seperti yang diminta dalam pertimbangan majelis hakim di MK,” ujar dia.
Baca juga: Parpol Diprediksi Dukung Prabowo Lagi pada Pilpres 2029 meski Threshold Dihapus
Adies menerangkan,kajian mendalam untuk menindaklanjuti penghapusan presidential threshold diperlukan agar revisi UU Pemilu yang dilakukan tidak keluar dari koridor putusan MK.
Politikus Partai Golkar ini pun menegaskan bahwa pihak legislatif bakal melaksanakan putusan MK tentangpresidential threshold yang bersifat final dan mengikat.
"Inilah yang harus dijalankan oleh pembuat UU. Nanti,rekayasa konstitusi yang seperti apa yang akan dilakukan,nah ini kan perlu pembahasan. Disampaikan juga itu mendengar masukan-masukan,” kata Adies.
Kendati demikian,Adies belum dapat memastikan kapan FGD tersebut akan dilaksanakan karena DPR masih melakukan reses hingga akhir Januari 2025.
Baca juga: Tanpa Presidential Threshold,Rakyat Akan Punya Banyak Pilihan Capres-cawapres
Meski begitu,dia meyakini bahwa pembahasan akan dilaksanakan DPR ketika masa sidang dimulai.
“Tapi yang pasti,pemilihan presiden masih lama. Sebelum pemilihan presiden,itu pasti akan dibahas RUU tersebut,” pungkas Adies.
Diberitakan sebelumnya,Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan menghapus presidential threshold melalui putusan perkara nomor 62/PPU-XXII/2025 pada Kamis,2 Januari 2025.
Dalam putusan tersebut,MK juga mempertimbangkan perpolitikan Indonesia yang cenderung mengarah pada pencalonan tunggal.
Selain itu,ambang batas pencalonan juga dinilai sebagai bentuk pelanggaran moral yang tidak bisa ditoleransi,lantaran memangkas hak rakyat untuk mendapatkan lebih banyak pilihan calon presiden.
Oleh karena itu,Mahkamah menyatakan norma hukum Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.